Kamagasaki, Kawasan Kumuh di Jepang Yang Tak Bisa Ditemukan Dalam Peta

Maret 19, 2019
Kamagasaki, Kawasan Kumuh di Jepang Yang Tak Bisa Ditemukan Dalam Peta - Jepang merupakan salah satu negara di benua Asia yang terkenal akan kreativitas masyarakatnya dan kemajuan teknologi yang mereka miliki. Oleh karena itu, beberapa negara berkembang di benua itu menjadikan Jepang sebagai 'kiblat'. Maka tidak heran jika banyak wisatawan asing yang ingin mengunjungi Negeri Matahari Terbit ini.

Selain kreatif serta perkembangan teknologinya maju, negara Jepang juga dikenal sebagai negara yang bersih. Hal ini bisa berjalan tentu karena kedisiplinan warna negara dan pemerintah Jepang yang selalu mendukung program kebersihan tersebut.

Tapi tak banyak orang yang mengetahui bahwa ada salah satu kota di Jepang yang malah terkenal akan kekumuhannya. Kota ini disebut Kamagasaki. Selayaknya kota yang tak terurus, kota ini terlihat sangat kumuh. Selain itu, penghuni kota ini pun sebagian besar merupakan orang tua dan para pengangguran.

Sisi Lain dari Kota Kamagasaki
( Foto : Peters Larson )

Saking kumuhnya, kota ini sampai dihilangkan dari peta resmi Jepang. Pemerintah Jepang beralasan bahwa Kamagasaki merupakan kota yang memalukan negara. Selain dihapus dari peta resmi, pemerintah juga memblokir informasi mengenai Kota Kamagasaki. Tentunya agar banyak orang yang tidak mengetahui bahwa di Jepang yang dikenal kebersihannya ini juga memiliki kota yang kumuh.

Kota yang sudah ada sejak 1922 ini, merupakan tempat yang tak pernah menghasilkan apa pun. Penduduk kota ini juga, tidak dimasukkan sebagai sasaran sensus penduduk yang digelar pemerintah. Kisah kota kumuh ini, sempat diabadikan oleh fotografer Seiryo Inoue pada tahun 1950-an dalam karya fotografinya berjudul "Seratus Wajah Kamagasaki." Fotonya tersebut, mengantarkan Sieryo mendapatkan penghargaan "Pendatang Baru" tahun 1961 oleh Japan Photography Critics  Society.

Setidaknya, menurut sejumlah kalangan, Kota Kamagasaki memiliki penduduk yang berjumlah 25 ribu jiwa. Mereka didominasi oleh buruh serabutan, pengangguran, gelandangan, dan anggota Yakuza. Mayoritas dari penduduk kota ini tinggal di tempat penampungan gratis, atau dormitori murah seharga 8 Dolar AS per malam. Setiap hari, mereka memulai kehidupan mereka dengan mencari kerja di pusat informasi kerja dan kesejahteraan rakyat. Pada umumnya, kebanyakan dari mereka bekerja di perusahaan kontraktor, di lapangan keras, seperti pekerja jalanan pembuat aspal, pengangkut batu bata serta pekerjaan  kasar lainnya. Sore hari, mereka kembali ke tempat penampungan, mengantre makan dan minum gratis, serta untung-untungan mencari dan mendapat tiket tempat tidur gratis.